Kamis, 12 Agustus 2010

GCS

GCS (Glasgow Coma Scale) merupakan suatu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien dengan menilai respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan. Rangsangan yang diberikan berbagai hal dengan memperhatikan 3 reaksi yang terdiri dari reaksi membuka mata (Eye (E)), respon verbal (V) bicara dan gerakan motorik.

Eye (respon membuka mata) :
Respon membuka mata ini merupakan respon awal ketika kita bertemu dengan klien. Respon yang diharapkan ada pada pasien ialah bagaimana reflek membuka mata klien. Apakah ia akan spontan membuka mata tanpa harus dipanggil namanya, disentuh atau diberikan cubitan. Untuk nilai dari respon ini kita nilai (4) atau respon spontan. Apabila mata terbuka dengan rangsang suara, seperti kita memanggil nama klien, maka kita kasih nilai respon E nilai (3). Apabila klien dapat membuka mata ketika kita beri rangsang nyeri, (misalkan dengan menekan kuku jari) maka nilai E klien (2). Ketika tidak ada respon sama sekali, maka kita beri nilai E (1), tidak ada respon.

Verbal (respon verbal)
Setelah reflek membuka mata kita kaji, maka penilaian selanjutnya ialah bagaimana kita menilai respon verbal klien. Ketika klien dapat mengetahui dimana dia berada, siapa dirinya, kjalimat yang diucapkan baik, orientasi baik, maka kita nilai respon verbal dengan angka (5) . Apabila klien bingung, berbicara mengacau (sering bertanya berulang-ulang) disorientasi tempat dan waktu, maka nilai respon verbal kita beri nilai (4) . Untuk nilai (3) kita beri ketika klien berbicara tidak jelas (tapi kata-kata masih jelas, namun tidak dalam satu kalimat) dan hanya mengungkapkan kata singkat seperti “aduh…, bapak…”. Apabila klien lebih banyak mengerang atau mengeluarkan suara tanpa arti, maka kita nilai respon verbal klien (2). Ketika masih saja tidak ada respon, maka kita beri nilai verbal klien 1.

Motor (respon motorik)

Respon motorik ini harap dibedakan dengan penilaian kekuatan otot ya. Pemeriksaan ini kembali lagi saya ingatkan hanya digunakan untuk mengetahui tingkat kesadaran klien dengan memantau respon motorik klien. Ketika klien diperintahkan untuk melakukan apa yang kita inginkan, seperti memintanya untuk mengangkat tangan, atau ketika kita datang kemudian kita memberikan tangan kita untuk berjabat tangan dengnnya. Kita bisa melihat adakah atau tidak respon klien untuk melakukan hal tersebut (menjabat tangan kita). Apabila ada atau mengikuti perintah yang kita berikan, maka kita nilai respon motorik klien (6).
Kita bisa memberikan sebuah stimulus berupa rangsangan nyeri. Ketika klien mampu untuk melokalisir nyeri dengan cara menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri, maka kita memberikan nilai (5) . Apabila klien menghindar/menarik extremitas atau tubuh yang diberikan stimulus dengan menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri) kita dapat memberi nilai M (4).
Untuk pemberian nilai M (3), kita dapat melihatnya ketika klien menghindar/menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri dengan adanya respon flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku di atas dada & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri). sedangkan untuk memberikan nilai M (2) didapakan respon klien berupa adanya extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri). Ketika klien tidak ada respon, maka kita nilai M (1).

Penilaian GCS
1. Hasil pemeriksaan kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol E…M…V…
2. Selanjutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu E4M6V5 dan terendah adalah 3 yaitu E1M1V1.
3. Menilai status kesadaran klien
GCS : 14 – 15 = CKR (cidera kepala ringan)
GCS : 9 – 13 = CKS (cidera kepala sedang)
GCS : 3 – 8 = CKB (cidera kepala berat)
< 3 = koma

Selasa, 06 Juli 2010

asuhan keperwatan anak dengan diare

DIARE
DEFINISI
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan jumlah yinja yang lebih banyak dari biasanya (normal 100-200 cc/jam tinja). Dengan tinja berbentuk cair /setengan padat, dapat disertai frekuensi yang meningkat. Menurut WHO (1980), diare adalah buang air besar encer lebih dari 3 x sehari. Diare terbagi 2 berdasarkan mula dan lamanya , yaitu diare akut dan kronis (Mansjoer,A.1999,501).

ETIOLOGI
1. Faktor infeksi : Bakteri ( Shigella, Shalmonella, Vibrio kholera), Virus (Enterovirus), parasit (cacing), Kandida (Candida Albicans).
2. Faktor parentral : Infeksi dibagian tubuh lain (OMA sering terjadi pada anak-anak).
3. Faktor malabsorbsi : Karbihidrat, lemak, protein.
4. Faktor makanan : Makanan basi, beracun, terlampau banyak lemak, sayuran dimasak kutang matang.
5. Faktor Psikologis : Rasa takut, cemas.

PATOFISIOLOGI

faktor infeksi F malabsorbsi F makanan F. Psikologi
KH,Lemak,Protein


Masuk dan ber meningk. Tek osmo toksin tak dapat cemas
kembang dlm tik diserap
usus

Hipersekresi air pergeseran air dan hiperperistaltik
dan elektrolit elektrolit ke rongga
( isi rongga usus) usus menurunya kesempatan usus
menyerap makanan




D I A R E



Frek. BAB meningkat distensi abdomen


Kehilangan cairan & elekt integritas kulit
berlebihan perianal


gg. kes. cairan & elekt As. Metabl mual, muntah



Resiko hipovolemi syok sesak nafsu makan


Gang. Oksigensi BB menurun


Gangg. Tumbang

PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Identitas
Perlu diperhatikan adalah usia. Episode diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. Insiden paling tinggi adalah golongan umur 6-11 bulan. Kebanyakan kuman usus merangsang kekebalan terhadap infeksi, hal ini membantu menjelaskan penurunan insidence penyakit pada anak yang lebih besar. Pada umur 2 tahun atau lebih imunitas aktif mulai terbentuk. Kebanyakan kasus karena infeksi usus asimptomatik dan kuman enteric menyebar terutama klien tidak menyadari adanya infeksi. Status ekonomi juga berpengaruh terutama dilihat dari pola makan dan perawatannya .
2. Keluhan Utama
BAB lebih dari 3 x
3. Riwayat Penyakit Sekarang
BAB warna kuning kehijauan, bercamour lendir dan darah atau lendir saja. Konsistensi encer, frekuensi lebih dari 3 kali, waktu pengeluaran : 3-5 hari (diare akut), lebih dari 7 hari ( diare berkepanjangan), lebih dari 14 hari (diare kronis).
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pernah mengalami diare sebelumnya, pemakian antibiotik atau kortikosteroid jangka panjang (perubahan candida albicans dari saprofit menjadi parasit), alergi makanan, ISPA, ISK, OMA campak.
5. Riwayat Nutrisi
Pada anak usia toddler makanan yang diberikan seperti pada orang dewasa, porsi yang diberikan 3 kali setiap hari dengan tambahan buah dan susu. kekurangan gizi pada anak usia toddler sangat rentan,. Cara pengelolahan makanan yang baik, menjaga kebersihan dan sanitasi makanan, kebiasan cuci tangan,
6. Riwayat Kesehatan Keluarga
Ada salah satu keluarga yang mengalami diare.

7. Riwayat Kesehatan Lingkungan
Penyimpanan makanan pada suhu kamar, kurang menjaga kebersihan, lingkungan tempat tinggal.
8. Riwayat Pertumbuhan dan perkembangan
a. Pertumbuhan
o Kenaikan BB karena umur 1 –3 tahun berkisar antara 1,5-2,5 kg (rata-rata 2 kg), PB 6-10 cm (rata-rata 8 cm) pertahun.
o Kenaikan linkar kepala : 12cm ditahun pertama dan 2 cm ditahun kedua dan seterusnya.
o Tumbuh gigi 8 buah : tambahan gigi susu; geraham pertama dan gigi taring, seluruhnya berjumlah 14 – 16 buah
o Erupsi gigi : geraham perama menusul gigi taring.
b. Perkembangan
o Tahap perkembangan Psikoseksual menurut Sigmund Freud.
Fase anal :
Pengeluaran tinja menjadi sumber kepuasan libido, meulai menunjukan keakuannya, cinta diri sendiri/ egoistic, mulai kenal dengan tubuhnya, tugas utamanyan adalah latihan kebersihan, perkembangan bicra dan bahasa (meniru dan mengulang kata sederhana, hubungna interpersonal, bermain).
o Tahap perkembangan psikososial menurut Erik Erikson.
Autonomy vs Shame and doundt
Perkembangn ketrampilan motorik dan bahasa dipelajari anak toddler dari lingkungan dan keuntungan yang ia peroleh Dario kemam puannya untuk mandiri (tak tergantug). Melalui dorongan orang tua untuk makan, berpakaian, BAB sendiri, jika orang tua terlalu over protektif menuntut harapan yanag terlalu tinggi maka anak akan merasa malu dan ragu-ragu seperti juga halnya perasaan tidak mampu yang dapat berkembang pada diri anak.
o Gerakan kasar dan halus, bacara, bahasa dan kecerdasan, bergaul dan mandiri : Umur 2-3 tahun :
1. berdiri dengan satu kaki tampa berpegangan sedikitpun 2 hitungan (GK)
2. Meniru membuat garis lurus (GH)
3. Menyatakan keinginan sedikitnya dengan dua kata (BBK)
4. Melepasa pakaian sendiri (BM)
9. Pemeriksaan Fisik
a. pengukuran panjang badan, berat badan menurun, lingkar lengan mengecil, lingkar kepala, lingkar abdomen membesar,
b. keadaan umum : klien lemah, gelisah, rewel, lesu, kesadaran menurun.
c. Kepala : ubun-ubun tak teraba cekung karena sudah menutup pada anak umur 1 tahun lebih
d. Mata : cekung, kering, sangat cekung
e. Sistem pencernaan : mukosa mulut kering, distensi abdomen, peristaltic meningkat > 35 x/mnt, nafsu makan menurun, mual muntah, minum normal atau tidak haus, minum lahap dan kelihatan haus, minum sedikit atau kelihatan bisa minum
f. Sistem Pernafasan : dispnea, pernafasan cepat > 40 x/mnt karena asidosis metabolic (kontraksi otot pernafasan)
g. Sistem kardiovaskuler : nadi cepat > 120 x/mnt dan lemah, tensi menurun pada diare sedang .
h. Sistem integumen : warna kulit pucat, turgor menurun > 2 dt, suhu meningkat > 375 0 c, akral hangat, akral dingin (waspada syok), capillary refill time memajang > 2 dt, kemerahan pada daerah perianal.
i. Sistem perkemihan : urin produksi oliguria sampai anuria (200-400 ml/ 24 jam ), frekuensi berkurang dari sebelum sakit.
j. Dampak hospitalisasi : semua anak sakit yang MRS bisa mengalami stress yang berupa perpisahan, kehilangan waktu bermain, terhadap tindakan invasive respon yang ditunjukan adalah protes, putus asa, dan kemudian menerima.
10. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium :
• feses kultur : Bakteri, virus, parasit, candida
• Serum elektrolit : Hipo natremi, Hipernatremi, hipokalemi
• AGD : asidosis metabolic ( Ph menurun, pO2 meningkat, pcO2 meningkat, HCO3 menurun )
• Faal ginjal : UC meningkat (GGA)
2) Radiologi : mungkin ditemukan bronchopemoni

PENATALAKSANAAN DIARE
Rehidrasi
1. jenis cairan
1) Cara rehidrasi oral
o Formula lengkap (NaCl, NaHCO3, KCl dan Glukosa) seperti orali, pedyalit setiap kali diare.
o Formula sederhana ( NaCl dan sukrosa)
2) Cara parenteral
o Cairan I : RL dan NS
o Cairan II : D5 ¼ salin,nabic. KCL
D5 : RL = 4 : 1 + KCL
D5 + 6 cc NaCl 15 % + Nabic (7 mEq/lt) + KCL
o HSD (half strengh darrow) D ½ 2,5 NS cairan khusus pada diare usia > 3 bulan.
2. Jalan pemberian
1) Oral (dehidrasi sedang, anak mau minum, kesadaran baik)
2) Intra gastric ( bila anak tak mau minum,makan, kesadran menurun)

3. Jumlah Cairan ; tergantung pada :
1) Defisit ( derajat dehidrasi)
2) Kehilangan sesaat (concurrent less)
3) Rumatan (maintenance).
4. Jadwal / kecepatan cairan
1) Pada anak usia 1- 5 tahun dengan pemberian 3 gelas bila berat badanya kurang lebih 13 kg : maka pemberianya adalah :
o BB (kg) x 50 cc
o BB (kg) x 10 – 20 = 130 – 260 cc setiap diare = 1 gls.
2) Terapi standar pada anak dengan diare sedang :
+ 50 cc/kg/3 jam atau 5 tetes/kg/mnt


Terapi
1. obat anti sekresi : Asetosal, 25 mg/hari dengan dosis minimal 30 mg
klorpromazine 0,5 – 1 mg / kg BB/hari
2. onat anti spasmotik : Papaverin, opium, loperamide
3. antibiotik : bila penyebab jelas, ada penyakit penyerta

Dietetik
a. Umur > 1 tahun dengan BB>7 kg, makanan padat / makanan cair atau susu
b. Dalam keadaan malbasorbsi berat serta alergi protein susu sapi dapat diberi elemen atau semi elemental formula.
Supportif
Vitamin A 200.000. IU/IM, usia 1 – 5 tahun

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan diare atau output berlebihan dan intake yang kurang
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan kehilangan cairan skunder terhadap diare.
3. Resiko peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi skunder terhadap diare
4. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan frekwensi diare.
5. Resiko tinggi gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan BB menurun terus menerus.
6. Kecemasan anak berhubungan dengan tindakan invasive

INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa 1: Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan kehilangan cairan skunder terhadap diare
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam keseimbangan dan elektrolit dipertahankan secara maksimal
Kriteria hasil :
o Tanda vital dalam batas normal (N: 120-60 x/mnt, S; 36-37,50 c, RR : < 40 x/mnt )
o Turgor elastik , membran mukosa bibir basah, mata tidak cowong, UUB tidak cekung.
o Konsistensi BAB lembek, frekwensi 1 kali perhari
Intervensi :
1) Pantau tanda dan gejala kekurangan cairan dan elektrolit
R/ Penurunan sisrkulasi volume cairan menyebabkan kekeringan mukosa dan pemekataj urin. Deteksi dini memungkinkan terapi pergantian cairan segera untuk memperbaiki defisit
2) Pantau intake dan output
R/ Dehidrasi dapat meningkatkan laju filtrasi glomerulus membuat keluaran tak aadekuat untuk membersihkan sisa metabolisme.
3) Timbang berat badan setiap hari
R/ Mendeteksi kehilangan cairan , penurunan 1 kg BB sama dengan kehilangan cairan 1 lt
4) Anjurkan keluarga untuk memberi minum banyak pada kien, 2-3 lt/hr
R/ Mengganti cairan dan elektrolit yang hilang secara oral
5) Kolaborasi :
- Pemeriksaan laboratorium serum elektrolit (Na, K,Ca, BUN)
R/ koreksi keseimbang cairan dan elektrolit, BUN untuk mengetahui faal ginjal (kompensasi).
- Cairan parenteral ( IV line ) sesuai dengan umur
R/ Mengganti cairan dan elektrolit secara adekuat dan cepat.
- Obat-obatan : (antisekresin, antispasmolitik, antibiotik)
R/ anti sekresi untuk menurunkan sekresi cairan dan elektrolit agar simbang, antispasmolitik untuk proses absorbsi normal, antibiotik sebagai anti bakteri berspektrum luas untuk menghambat endotoksin.

Diagnosa 2 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak adekuatnya intake dan out put
Tujuan : setelah dilakukan tindakan perawatan selama dirumah di RS kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria : - Nafsu makan meningkat
- BB meningkat atau normal sesuai umur
Intervensi :
1) Diskusikan dan jelaskan tentang pembatasan diet (makanan berserat tinggi, berlemak dan air terlalu panas atau dingin)
R/ Serat tinggi, lemak,air terlalu panas / dingin dapat merangsang mengiritasi lambung dan sluran usus.
2) Ciptakan lingkungan yang bersih, jauh dari bau yang tak sedap atau sampah, sajikan makanan dalam keadaan hangat
R/ situasi yang nyaman, rileks akan merangsang nafsu makan.
3) Berikan jam istirahat (tidur) serta kurangi kegiatan yang berlebihan
R/ Mengurangi pemakaian energi yang berlebihan
4) Monitor intake dan out put dalam 24 jam
R/ Mengetahui jumlah output dapat merencenakan jumlah makanan.
5) Kolaborasi dengan tim kesehtaan lain :
a. terapi gizi : Diet TKTP rendah serat, susu
b. obat-obatan atau vitamin ( A)
R/ Mengandung zat yang diperlukan , untuk proses pertumbuhan


Diagnosa 3 : Resiko peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi dampak sekunder dari diare
Tujuan : Stelah dilakukan tindakan perawatan selama 3x 24 jam tidak terjadi peningkatan suhu tubuh
Kriteria hasil : suhu tubuh dalam batas normal ( 36-37,5 C)
Tidak terdapat tanda infeksi (rubur, dolor, kalor, tumor, fungtio leasa)
Intervensi :
1) Monitor suhu tubuh setiap 2 jam
R/ Deteksi dini terjadinya perubahan abnormal fungsi tubuh ( adanya infeksi)
2) Berikan kompres hangat
R/ merangsang pusat pengatur panas untuk menurunkan produksi panas tubuh
3) Kolaborasi pemberian antipirektik
R/ Merangsang pusat pengatur panas di otak

Diagnosa 4 :Resiko gangguan integritas kulit perianal berhubungan dengan peningkatan frekwensi BAB (diare)
Tujuan : setelah dilakukan tindaka keperawtan selama di rumah sakit integritas kulit tidak terganggu
Kriteria hasil : - Tidak terjadi iritasi : kemerahan, lecet, kebersihan terjaga
- Keluarga mampu mendemontrasikan perawatan perianal dengan baik dan benar
Intervensi :
1) Diskusikan dan jelaskan pentingnya menjaga tempat tidur
R/ Kebersihan mencegah perkembang biakan kuman
2) Demontrasikan serta libatkan keluarga dalam merawat perianal (bila basah dan mengganti pakaian bawah serta alasnya)
R/ Mencegah terjadinya iritassi kulit yang tak diharapkan oleh karena kelebaban dan keasaman feces
3) Atur posisi tidur atau duduk dengan selang waktu 2-3 jam
R/ Melancarkan vaskulerisasi, mengurangi penekanan yang lama sehingga tak terjadi iskemi dan irirtasi .

Diagnosa 5 : Kecemasan anak berhubungan dengan tindakan invasive
Tujuan : setelah dilakukan tindakan perawatan selama 3 x 24 jam, klien mampu beradaptasi
Kriteria hasil : Mau menerima tindakan perawatan, klien tampak tenang dan tidak rewel
Intervensi :
1) Libatkan keluarga dalam melakukan tindakan perawatan
R/ Pendekatan awal pada anak melalui ibu atau keluarga
2) Hindari persepsi yang salah pada perawat dan RS
R/ mengurangi rasa takut anak terhadap perawat dan lingkungan RS
3) Berikan pujian jika klien mau diberikan tindakan perawatan dan pengobatan
R/ menambah rasa percaya diri anak akan keberanian dan kemampuannya
4) Lakukan kontak sesering mungkin dan lakukan komunikasi baik verbal maupun non verbal (sentuhan, belaian dll)
R/ Kasih saying serta pengenalan diri perawat akan menunbuhkan rasa aman pada klien.
5) Berikan mainan sebagai rangsang sensori anak


DAFTAR PUSTAKA

Bates. B, 1995. Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan. Ed 2. EGC. Jakarta
Carpenitto.LJ. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis. Ed 6. EGC. Jakarta.
Lab/ UPF IKA, 1994. Pedoman Diagnosa dan Terapi . RSUD Dr. Soetomo. Surabaya.
Markum.AH. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak sakit. EGC. Jakarta
Soetjiningsih, 1995. Tumbuh Kembang Anak. EGC. Jakarta
Suryanah,2000. Keperawatan Anak. EGC. Jakarta
Doengoes,2000. Asuhan Keperawatan Maternal/ Bayi. EGC. Jakarta

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN DHF

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN DHF

A. Pengertian
DHF adalah penyakit yang disebabkan oleh Arbovirus ( arthro podborn virus ) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk AEDES ( AEDES ALBOPICTUS dan AEDES AEGEPTY )

B. Penyebab
Penyebab DHF adalah Arbovirus ( Arthropodborn Virus ) melalui gigitan nyamuk Aedes ( Aedes Albopictus dn Aedes Aegepty )

C. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala penyakit DHF adalah :
- Meningkatnya suhu tubuh
- Nyeri pada otot seluruh tubuh
- Suara serak
- Batuk
- Epistaksis
- Disuria
- Nafsu makan menurun
- Muntah
- Ptekie
- Ekimosis
- Perdarahan gusi
- Muntah darah
- Hematuria masih
- Melena

D. Klasifikasi DHF menurut WHO
Derajat I
Demam disertai gejala tidak khas, terdapat manifestasi perdarahan ( uju tourniquet positif )

Derajat II
Derajat I ditambah gejala perdarahan spontan dikulit dan perdarahan lain.

Derajat III
Kegagalan sirkulasi darah, nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun ( 20 mmhg, kulit dingin, lembab, gelisah, hipotensi )

Derajat IV
Nadi tak teraba, tekanan darah tak dapat diukur

Pemeriksaan Diagnostik
- Darah Lengkap = Hemokonsentrasi ( Hemaokrit meningkat 20 % atau lebih ) Thrombocitopeni ( 100. 000/ mm3 atau kurang )
- Serologi = Uji HI ( hemaaglutinaion Inhibition Test )
- Rontgen Thorac = Effusi Pleura

E. Pathways


































F. Penatalaksanaan
 Medik
A. DHF tanpa Renjatan
- Beri minum banyak ( 1 ½ - 2 Liter / hari )
- Obat anti piretik, untuk menurunkan panas, dapat juga dilakukan kompres
- Jika kejang maka dapat diberi luminal ( antionvulsan ) untuk anak <1th dosis 50 mg Im dan untuk anak >1th 75 mg Im. Jika 15 menit kejang belum teratasi , beri lagi luminal dengan dosis 3mg / kb BB ( anak <1th dan pada anak >1th diberikan 5 mg/ kg BB.
- Berikan infus jika terus muntah dan hematokrit meningkat

B. DHF dengan Renjatan
- Pasang infus RL
- Jika dengan infus tidak ada respon maka berikan plasma expander ( 20 – 30 ml/ kg BB )
- Tranfusi jika Hb dan Ht turun
 Keperawatan
1. Pengawasan tanda – tanda Vital secara kontinue tiap jam
- Pemeriksaan Hb, Ht, Trombocyt tiap 4 Jam
- Observasi intik output
- Pada pasienDHF derajat I : Pasien diistirahatkan, observasi tanda vital tiap 3 jam , periksa Hb, Ht, Thrombosit tiap 4 jam beri minum 1 ½ liter – 2 liter per hari, beri kompres
- Pada pasien DHF derajat II : pengawasan tanda vital, pemeriksaan Hb, Ht, Thrombocyt, perhatikan gejala seperti nadi lemah, kecil dan cepat, tekanan darah menurun, anuria dan sakit perut, beri infus.
- Pada pasien DHF derajat III : Infus guyur, posisi semi fowler, beri o2 pengawasan tanda – tanda vital tiap 15 menit, pasang cateter, obsrvasi productie urin tiap jam, periksa Hb, Ht dan thrombocyt.

2. Resiko Perdarahan
- Obsevasi perdarahan : Pteckie, Epistaksis, Hematomesis dan melena
- Catat banyak, warna dari perdarahan
- Pasang NGT pada pasien dengan perdarahan tractus Gastro Intestinal

3. Peningkatan suhu tubuh
- Observasi / Ukur suhu tubuh secara periodik
- Beri minum banyak
- Berikan kompres



F. Asuhan Keperawatan pada pasien DHF
Pengkajian
- Kaji riwayat Keperawatan
- Kaji adanya peningkatan suhu tubuh, tanda perdarahan , mual muntah, tidak nafsu makan, nyeri ulu hai, nyeri otot dan tanda – tanda renjatan ( denyut nadi cepat dan lemah, hipotensi, kulit dingin dan lembab, terutama pada ekstremitas, sianosis, gelisah, penurunan kesadaran )

Diagnose Keperawatan
1. Kekurangan Volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler , perdarahan, muntah, dan demam
2. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan perdarahan
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, tidak ada nafsu makan
4. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksivirus
5. Perubahan proses proses keluarga berhubungan dengan kondisi anak

Perencanaan
1. Anak menunjukkan tanda – tanda terpenuhinya kebutuhan cairan
2. Anak menunjukkan tanda – tanda perfusi jaringan perifer yang adekwat
3. Anak menunjukkan tanda – tanda vital dalam batas normal
4. Keluarga menunjukkan kekoping yang adaptif
Implementasi
1. Mencegah terjadinya kekurangan volume cairan
- Mengobservasi tanda – tanda vital paling sedikit setiap 4 jam
- Monitor tanda – tanda meningkatnya kekurangan cairan : turgor tidak elastis, ubun – ubun cekung, produktie urin menurun
- Mengobservasi dan mencatat intake dan output
- Memberikan hidrasi yang adekwat sesuai dengan kebutuhan tubuh
- Memonitor nilai laboratorium : elektrolit / darah BJ urin , serum tubuh
- Mempertahankan intake dan output yang adekwat
- Memonitor dan mencatat berat badan
- Memonitor pemberian cairan melalui intravena setiap jam
- Mengurangi kehilangan cairan yang tidak telihat ( insesible water loss / IWL )

2. Perfusi jaringan Adekwat
- Mengkaji dan mencatat tanda – tanda Vital ( kualitas dan Frekwensi denyut nadi, tekanan darah , Cappilary Refill )
- Mengkaji dan mencatat sirkulasi pada ektremitas ( suhu , kelembaban dan warna )
- Menilai kemungkinan terjadinya kematian aringan pada ekstremitas seperti dingin , neri , pembengkakan kaki )

3. Kebutuhan nutrisi adekwat
- Ijinka anak memakan makanan yang dapa ditoleransi anak. Rencanakan untuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan anak meningkat.
- Berikan makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk meningkatkan kualitas intake nutrisi
- Menganjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan teknik porsi kecil tetapi sering
- Menimbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama dan dengan skala yang sama
- Mempertahankan kebersihan mulut pasien
- Menjelaskan pentingnya intake nutirisi yang adekwat untuk penyembuhan penyakit

4. Mempertahankan suhu tubuh normal
- Ukur tanda – tanda vital suhu tubuh
- Ajarkan keluarga dala pengukuran suhu
- Lakukan “ tepid sponge” ( seka ) dengan air biasa
- Tingkatkan intake cairan
- Berikan terapi untuk menurunkan suhu
5. Mensupport koping keluarga Adaptif
- mengkaji perasaan dn persepsi orang tua atau anggota keluarga terhadap situasi yang penuh stress
- Ijinkan orang tua dan keluarga untuk memberikan respon secara panjang lebar dan identifikasi faktor yang paling mencmaskan keluarga
- Identifikasikan koping yang biasa digunakan dn seberapa besar keberhasilannya dalam mengatasi keadaan

G. Pencegahan DHF
Menghindari atau mencegah berkembangnya nyamuk Aedes Aegepty dengan cara:
- Rumah selalu terang
- Tidak menggantung pakaian
- Bak / tempat penampungan air sering dibersihkan dan diganti airnya minimal 4 hari sekali
- Kubur barang – barang bekas yang memungkinkan sebagai tempat terkumpulnya air hujan
- Tutup tempat penampungan air
Perencanaan pemulangan dan PEN KES
- Berikan informasi tentang kebutuhan melakukan aktifitas sesuai dengan tingkat perkembangan dan kondisi fisik anak
- Jelaskan terapi yang diberikan, dosis efek samping
- Menjelaskan gejala – gejala kekambuhan penyakit dan hal yang harus dilakukan untuk mengatasi gejala
- Tekankan untuk melakukan kontrol sesuai waktu yang ditentukan
DAFTAR PUSTAKA
Buku ajar IKA infeksi dan penyakit tropis IDAI Edisi I. Editor : Sumarmo, S Purwo Sudomo, Harry Gama, Sri rejeki Bag IKA FKUI jkt 2002.
Christantie, Effendy. SKp, Perawatan Pasien DHF. Jakarta, EGC, 1995
Prinsip – Prinsip Keperawatan Nancy Roper hal 269 – 267

CTEV (Congenital Talipes Equino Varus)

CTEV (Congenital Talipes Equino Varus)

Clubfoot adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan deformitas umum dimana kaki berubah/bengkok dari keadaan atau posisi normal. Beberapa dari deformitas kaki termasuk deformitas ankle disebut dengan talipes yang berasal dari kata talus (yang artinya ankle) dan pes (yang berarti kaki). Deformitas kaki dan ankle dipilah tergantung dari posisi kelainan ankle dan kaki. Deformitas talipes diantaranya :
- Talipes varus : inversi atau membengkok ke dalam
- Talipes valgus : eversi atau membengkok ke luar
- Talipes equinus : plantar fleksi dimana jari-jari lebih rendanh daripada tumit
- Talipes calcaneus : dorsofleksi dimana jari-jari lebih tinggi daripada tumit

Clubfeet yang terbanyak merupakan kombinasi dari beberapa posisi dan angka kejadian yang paling tinggi adalah tipe talipes equinovarus (TEV) dimana kaki posisinya melengkung kebawah dan kedalam dengan berbagai tingkat keparahan. Unilateral clubfoot lebih umum terjadi dibandingkan tipe bilateral dan dapat terjadi sebagai kelainan yang berhubungan dengan sindroma lain seperti aberasi kromosomal, artrogriposis (imobilitas umum dari persendian), cerebral palsy atau spina bifida.

Frekuensi clubfoot dari populasi umum adalah 1 : 700 sampai 1 : 1000 kelahiran hidup dimana anak laki-laki dua kali lebih sering daripada perempuan. Berdasarkan data, 35% terjadi pada kembar monozigot dan hanya 3% pada kembar dizigot. Ini menunjukkan adanya peranan faktor genetika

I. Patofisiologi
Penyebab pasti dari clubfoot sampai sekarang belum diketahui. Beberapa ahli mengatakan bahwa kelainan ini timbul karena posisi abnormal atau pergerakan yang terbatas dalam rahim. Ahli lain mengatakan bahwa kelainan terjadi karena perkembangan embryonic yang abnormal yaitu saat perkembangan kaki ke arah fleksi dan eversi pada bulan ke-7 kehamilan. Pertumbuhan yang terganggu pada fase tersebut akan menimbulkan deformitas dimana dipengaruhi pula oleh tekanan intrauterine.

II. Evaluasi diagnostik
Deformitas ini dapat dideteksi secara dini pada saat prenatal dengan ultrasonography atau terdeteksi saat kelahiran.

III. Management therapeutik
Pertumbuhan yang cepat selama periode infant memungkinkan untuk penanganan remodelling. Treatment dimulai saat kelainan didapatkan dan terdiri dari tiga tahapan yaitu : 1) koreksi dari deformitas, 2) mempertahankan koreksi sampai keseimbangan otot normal tercapai, 3) observasi dan follow up untuk mencegah kembalinya deformitas.

Koreksi dari CTEV adalah dengan manipulasi dan aplikasi dari serial “cast” yang dimulai dari sejak lahir dan dilanjutkan sampai tujuan koreksi tercapai. Koreksi ini ditunjang juga dengan latihan stretching dari struktur sisi medial kaki dan latihan kontraksi dari struktur yang lemah pada sisi lateral. Manipulasi dan pemakaian “cast” ini diulangi secara teratur (dari beberapa hari sampai 1-2 bulan dengan interval 1-2 bulan) untuk mengakomodir pertumbuhan yang cepat pada periode ini. Jika manipulasi ini tidak efektif, dilakukan koreksi bedah untuk memperbaiki struktur yang berlebihan, memperpanjang atau transplant tendon. Kemudian ektremitas tersebut akan di “cast” sampai tujuan koreksi tercapai.

IV. Prognosis
Beberapa kasus menunjukkan respon yang positif terhadap penanganan, sedangkan beberapa kasus lain menunjukkan respon yang lama atau tidak berespon samasekali terhadap treatmen. Orangtua harus diberikan informasi bahwa hasil dari treatmen tidak selalu dapat diprediksi dan tergantung pada tingkat keparahan dari deformitas, umur anak saat intervensi, perkembangan tulang, otot dan syaraf. Fungsi kaki jangka panjang setelah treatmen secara umum baik tetapi hasil study menunjukkan bahwa koreksi saat dewasa akan menunjukkan kaki yang 10% lebih kecil dari biasanya (Aronson & Puskarich, 1990).

V. Perawatan
Asuhan keperawatan pada anak dengan koreksi non bedah sama dengan perawatan pada anak dengan anak dengan penggunaan “cast”. Anak memerlukan waktu yang lama pada koreksi ini, sehingga perawatan harus meliputi tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Observasi kulit dan sirkulasi merupakan bagian penting pada pemakaian cast. Orangtua juga harus mendapatkan informasi yang cukup tentang diagnosis, penanganan yang lama dan pentingnya penggantian “cast” secara teratur untuk menunjang penyembuhan. Tugas perawat antara lain meminta pada dokter bedah ubtuk memberikan penjelasan dan intruksi yang adekuat pada orangtua, memberikan support emosional, mengajar orangtua tentang perawatan “cast” (termasuk observasi terhadap komplikasi), dan menganjurkan orangtua untuk memfasilitasi tumbuh kembang normal pada anak walaupun ada batasan karena deformitas atau therapi yang lama.

VI. Perawatan “cast” meliputi :
- Biarkan cast terbuka sampai kering
- Posisikan ektremitas yang dibalut pada posisi elevasi dengan diganjal bantal pada hari pertama atau sesuai intruksi
- Observasi ekteremitas untuk melihat adanya bengkak, perubahan warna kulit dan laporkan bila ada perubahan yang abnormal
- Cek pergerakan dan sensasi pada ektremitas secara teratur, observasi adanya rasa nyeri
- Batasi aktivitas berat pada hari-hari pertama tetapi anjurkan untuk melatih otot-otot secara ringan, gerakkan sendi diatas dan dibawah cast secara teratur.
- Anjurkan istirahat yang lebih banyak pada hari-hari pertama untuk mencegah injury
- Jangan biarkan anak memasukkan sesuatu ke dalam cast, jauhkan benda-benda kecil yang bisa dimasukkan ke dalam cast oleh anak
- Rasa gatal dapat dukurangi dengan ice pack, amati integritas kulit pada tepi cast dan kolaborasikan bila gatal-gatal semakin berat
- Intruksikan pada klien atau keluarga untuk tidak mengenai cast dengan air (berenang, berendam)
- Bila klien mengalami inkontinensia, lindungi cast dengan plester waterproof atau plastik.


Daftar Pustaka :
Wong, Donna L., Whaley & Wong’s Nursing Care of Infants and Children, Fifth Edition, Mosby Company, Missouri,1995

Senin, 05 Juli 2010

BRONKOPNEUMONIA

BRONKOPNEUMONIA

A. Pengertian
Pneumonia adalah inflamasi atau infeksi pada parenkim paru ( Betz C, 2002 )
Pneumonia adalah peradangan alveoli atau pada parenchim paru yang terjadi pada anak. (Suriadi Yuliani, 2001)
Pneumonia adalah suatu peradangan paru yang disebabkan oleh bermacam- macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing (IKA, 2001)
Jadi bronkopnemonia adalah infeksi atau peradangan pada jaringan paru terutama alveoli atau parenkim yang sering menyerang pada anak - anak

B. Etiologi
Pneumonia bisa dikatakan sebagai komplikasi dari penyakit yang lain ataupun sebagai penyakit yang terjadi karena etiologi di bawah ini
Sebenarnya pada diri manusia sudah ada kuman yang dapat menimbulkan pneumonia sedang timbulnya setelah ada faktor- faktor prsesipitasi yang dapat menyebabkan timbulnya.
 Bakteri
Organisme gram positif yang menyebabkan pneumonia bakteri adalah steprokokus pneumonia, streptococcus aureus dan streptococcus pyogenis.
 Virus
Pneumonia virus merupakan tipe pneumonia yang paling umum ini disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui transmisi droplet. Cytomegalovirus yang merupakan sebagai penyebab utama pneumonia virus.
 Jamur
Infeksi yang disebabkan oleh jamur seperti histoplasmosis menyebar melalui penghirupan udara yang mengandung spora dan biasanya ditemukan pada kotoran burung.
 Protozoa
Ini biasanya terjadi pada pasien yang mengalami imunosupresi seperti pada pasien yang mengalami imunosupresi seperti pada penderita AIDS.



C. Manifestasi klinis
 Pneumonia bakteri
Gejala awal :
- Rinitis ringan
- Anoreksia
- Gelisah
Berlanjut sampai :
- Demam
- Malaise
- Nafas cepat dan dangkal ( 50 – 80 )
- Ekspirasi bebunyi
- Lebih dari 5 tahun, sakit kepala dan kedinginan
- Kurang dari 2 tahun vomitus dan diare ringan
- Leukositosis
- Foto thorak pneumonia lobar
 Pneumonia virus
Gejala awal :
- Batuk
- Rinitis
Berkembang sampai
- Demam ringan, batuk ringan, dan malaise sampai demam tinggi, batuk hebat dan lesu
- Emfisema obstruktif
- Ronkhi basah
- Penurunan leukosit
 Pneumonia mikoplasma
Gejala awal :
- Demam
- Mengigil
- Sakit kepala
- Anoreksia
- Mialgia
Berkembang menjadi :
- Rinitis
- Sakit tenggorokan
- Batuk kering berdarah
- Area konsolidasi pada pemeriksaan thorak
D. Patofisiologi
Adanya gangguan pada terminal jalan nafas dan alveoli oleh mikroorganisme patogen yaitu virus dan stapilococcus aurens, H. Influenza dan streptococcus pneumoniae bakteri.
Terdapat infiltrat yang biasanya mengenai pada multipel lobus. Terjadinya destruksi sel dengan menanggalkan debris celluler ke dalam lumen yang mengakibatkan gangguan fungsi alveolar dan jalan nafas.
Pada anak kondisi ini dapat akut maupun kronik misal pad AIDS, Cystic Fibrosis, aspirasi benda asing dan congenital yang dapat meningkatkan risiko pneumonia.
E. Pemeriksaan diagnostik
1. Foto polos : digunakan untuk melihat adanya infeksi di paru dan status pulmoner
2. Nilai analisa gas darah: untuk mengetahui status kardiopulmoner yang berhubungan dengan oksigenasi
3. Hitung darah lengkap dan hitung jenis: digunakan untuk menetapkan adanya anemia, infeksi dan proses inflamasi
4. Pewarnaan gram: untuk seleksi awal anti mikroba
5. Tes kulit untuk tuberkulin: untuk mengesampingkan kemungkinan terjadi tuberkulosis jika anak tidak berespon terhadap pengobatan
6. jumlah lekosit: terjadi lekositosis pada pneumonia bakterial
7. Tes fungsi paru: digunakan untuk mengevaluasi fungsi paru, menetapkan luas dan beratnya penyakit dan membantu memperbaiki keadaan.
8. Spirometri statik digunakan untuk mengkaji jumlah udara yang diinspirasi
9. Kultur darah spesimen darah untuk menetapkan agen penyebab seperti
virus





Pathway





F. Penatalaksanaan medis
 Pengobatan supportive bila virus pneumonia
 Bila kondisi berat harus dirawat
 Berikan oksigen, fisiotherapi dada dan cairan intravena
 Antibiotik sesuai dengan program
 Pemeriksaan sensitivitas untuk pemberian antibiotik

G. Penatalaksanaan perawatan
1. Pengkajian
- Kaji status pernafasan
- Kaji tanda- tanda distress pernafasan
- Kaji adanya demam, tachicardia, malaise, anoreksia, kegeisahan
2. Diagnosa keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret di jalan nafas
2. Gangguan petukaran gas berhubungan dengan meningkatnya sekresi dan akumulasi exudat
3. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan demam, menurunnya intake dan tachipnea
4. Risiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan tindakan invasif pemasangan infus
5. Risiko tinggi terjadi kerussakan integritas kulit berhubungan dengan bed rest total
6. Risiko tinggi terjadi cedera berhubungandengan kejang
3. Perencanaan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret di jalan nafas
Tujuan: setelah dilaksakan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam jalan nafas menjadi bersih
Kriteria:
- Suara nafas bersih tidak ada ronkhi atau rales, wheezing
- Sekret di jalan nafas bersih
- Cuping hidung tidak ada
- Tidak ada sianosis

Intervensi:
- Kaji status pernafasan tiap 2 jam meliputi respiratory rate, penggunaan otot bantu nafas, warna kulit
- Lakukan suction jika terdapat sekret di jalan nafas
- Posisikan kepala lebih tinggi
- Lakukan postural drainage
- Kolaborasi dengan fisiotherapist untuk melaakukan fisiotherapi dada
- Jaga humidifasi oksigen yang masuk
- Gunakan tehnik aseptik dalam penghisapan lendir
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan adanya penumpukan cairan di alveoli paru
Tujuan: setelah dilaksakan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam pertukaran gas dalam alveoli adekuat.
Kriteria:
- Akral hangat
- Tidak ada tanda sianosis
- Tidak ada hipoksia jaringan
- Saturasi oksigen perifer 90%
Intervensi:
- Pertahankan kepatenan jalan nafas
- Keluarkan lendir jika ada dalam jalan nafas
- Periksa kelancaran aliran oksigen 5-6 liter per menit
- Konsul dokter jaga jika ada tanda hipoksia/ sianosis
- Awasi tingkat kesadaran klien
3. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan demam, menurunnya intake dan tachipnea
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam tidak terjadi kekurangan volume cairan.
Kriteria hasil:
- Tidak ada tanda dehidrasi
- Suhu tubuh normal 36,5-37 0C
- Kelopak mata tidak cekung
- Turgor kulit baik
- Akral hangat
Intervensi:
- Kaji adanya tanda dehidrasi
- Jaga kelancaran aliran infus
- Periksa adanya tromboplebitis
- Pantau tanda vital tiap 6 jam
- Lakukan kompres dingin jika terdapat hipertermia suhu diatas 38 C
- Pantau balance cairan
- Berikan nutrisi sesuai diit
- Awasi turgor kulit
4. Risiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan tindakan invasif pemasangan infus
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam tidak terjadi infeksi akibat pemasangan infus.
Kriteria hasil:
- Aliran infus lancar
- Tidak ada tanda infeksi pada tempat pemasangan infus
- Suhu tubuh dalam batas normal
- Tidak ada tromboplebitis
Intervensi:
- Awasi adanya tanda- tanda infeksi pada tempat pemasangan infus
- Jaga kelancaran aliran infus
- Jaga kenbersihan tempat pemasangan infus
- Jaga tempat pemasangan infus tetap kering
- Tutup tempat pemasangan infus dengankasa betadin
- Ganti lokasi pemasangan infus tiap 3 x 24 jam
5. Risiko tinggi terjadi kerussakan integritas kulit berhubungan dengan bed rest total
Tujuan: seletah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam tidak terjadi kerusakan integritas kulit
Kriteria hasil:
- Tidak terdapat luka dekubitus pda lokasi yang tertekan
- Warna kulit daerah tertekan tidak hipoksia, kemerahan
Intervensi:
- Lakukan massage pada kulit tertekan
- Monitor adanya luka dekubitus
- Jaga kulit tetap kering
- Berikan kamfer spiritus pada punggung dan daerah tertekan
- Jaga kebersihan dan kekencangan linen
6. Risiko tinggi terjadi cedera berhubungandengan kejang
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam tidak terjadi injuri akibat kejang
Kriteria hasil:
- Tidak ada injuri pada bagian tubuh jika terjadi kejang
- Orang tua selalu mengawasi disamping anaknya
- Orang tua melapor jika terjadi kejang
- Tempat tidur terpasang pengaman
Intervensi:
- Pasang pengaman di sisi tempat tidur
- Anjurkan orang tua untuk melapor jika terjadi kejang
- Siapkan sudip lidah/ pasang pada mulut pasien
- Kolaborasi berikan anti kejang luminal dan diazepam
- Berikan obat sesuai program
- Awasi adanya kejang tiap 15 menit sekali

















Daftar pustaka

1. Suriadi, Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta: CV Sagung Seto;2001
2. Staf Pengajar FKUI. Ilmu Kesehatan Anak, Buku Kuliah 3. Jakarta:
3. Infomedika;2000

4. Ngastiyah. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC; 1997
5. Betz & Sowden. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 3. Jakarta: EGC;2002
6. Wong and Whaley. ( 1995 ). Clinical Manual of Pediatric Nursing. Philadelphia:

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN BERAT BADAN LAHIR RENDAH

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN BERAT BADAN LAHIR RENDAH


A. PENGERTIAN
Bayi berat badan lahir rendah adalah bayi dengan berat badan kurang dari 2500 gram pada waktu lahir.
Dalam hal ini dibedakan menjadi :
1. Prematuritas murni
Yaitu bayi pada kehamilan < 37 minggu dengan berat badan sesuai.
2. Retardasi pertumbuhan janin intra uterin (IUGR)
Yaitu bayi yang lahir dengan berat badan rendah dan tidak sesuai dengan usia kehamilan.

B. ETIOLOGI
Penyebab kelahiran prematur tidak diketahui, tapi ada beberapa faktor yang berhubungan, yaitu :
1. Faktor ibu
 Gizi saat hamil yang kurang, umur kurang dari 20 tahun atau diaatas 35 tahun
 Jarak hamil dan persalinan terlalu dekat, pekerjaan yang terlalu berat
 Penyakit menahun ibu : hipertensi, jantung, gangguan pembuluh darah, perokok
2. Faktor kehamilan
 Hamil dengan hidramnion, hamil ganda, perdarahan antepartum
 Komplikasi kehamilan : preeklamsia/eklamsia, ketuban pecah dini
3. Faktor janin
 Cacat bawaan, infeksi dalam rahim
4. Faktor yang masih belum diketahui

C. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Prematuritas murni
 BB < 2500 gram, PB < 45 cm, LK < 33 cm, LD < 30 cm
 Masa gestasi < 37 minggu
 Kepala lebih besar dari pada badan, kulit tipis transparan, mengkilap dan licin
 Lanugo (bulu-bulu halus) banyak terdapat terutama pada daerah dahi, pelipis, telinga dan lengan, lemak subkutan kurang, ubun-ubun dan sutura lebar
 Genetalia belum sempurna, pada wanita labia minora belum tertutup oleh labia mayora, pada laki-laki testis belum turun.
 Tulang rawan telinga belum sempurna, rajah tangan belum sempurna
 Pembuluh darah kulit banyak terlihat, peristaltik usus dapat terlihat
 Rambut tipis, halus, teranyam, puting susu belum terbentuk dengan baik
 Bayi kecil, posisi masih posisi fetal, pergerakan kurang dan lemah
 Banyak tidur, tangis lemah, pernafasan belum teratur dan sering mengalami apnea, otot masih hipotonik
 Reflek tonus leher lemah, reflek menghisap, menelan dan batuk belum sempurna

2. Dismaturitas
 Kulit berselubung verniks kaseosa tipis/tak ada,
 Kulit pucat bernoda mekonium, kering, keriput, tipis
 Jaringan lemak di bawah kulit tipis, bayi tampak gesit, aktif dan kuat
 Tali pusat berwarna kuning kehijauan

D. KOMPLIKASI
 Sindrom aspirasi mekonium, asfiksia neonatorum, sindrom distres respirasi, penyakit membran hialin
 Dismatur preterm terutama bila masa gestasinya kurang dari 35 minggu
 Hiperbilirubinemia, patent ductus arteriosus, perdarahan ventrikel otak
 Hipotermia, Hipoglikemia, Hipokalsemia, Anemi, gangguan pembekuan darah
 Infeksi, retrolental fibroplasia, necrotizing enterocolitis (NEC)
 Bronchopulmonary dysplasia, malformasi konginetal

E. PENATALAKSANAAN MEDIS
 Resusitasi yang adekuat, pengaturan suhu, terapi oksigen
 Pengawasan terhadap PDA (Patent Ductus Arteriosus)
 Keseimbangan cairan dan elektrolit, pemberian nutrisi yang cukup
 Pengelolaan hiperbilirubinemia, penanganan infeksi dengan antibiotik yang tepat

F. ASUHAN KEPERAWATAN
No Diagnosa Keperawatan Tujuan/Kriteria Rencana Tindakan

1.













2.

Pola nafas tidak efektif b/d tidak adekuatnya ekspansi paru










Gangguan pertukaran gas b/d kurangnya ventilasi alveolar sekunder terhadap defisiensi surfaktan

Pola nafas yang efektif

Kriteria :
 Kebutuhan oksigen
menurun
 Nafas spontan, adekuat
 Tidak sesak.
 Tidak ada retraksi


Pertukaran gas adekuat

Kriteria :
 Tidak sianosis.
 Analisa gas darah normal
 Saturasi oksigen normal.

 Berikan posisi kepala sedikit ekstensi
 Berikan oksigen dengan metode yang sesuai
 Observasi irama, kedalaman dan frekuensi pernafasan








 Lakukan isap lendir kalau perlu
 Berikan oksigen dengan metode yang sesuai
 Observasi warna kulit
 Ukur saturasi oksigen
 Observasi tanda-tanda perburukan pernafasan
 Lapor dokter apabila terdapat tanda-tanda perburukan pernafasan
 Kolaborasi dalam pemeriksaan analisa gas darah
 Kolaborasi dalam pemeriksaan surfaktan


No Diagnosa Keperawatan Tujuan/Kriteria Rencana Tindakan

3.













4.













5

Resiko tinggi gangguan keseimbangan keseimbangan cairan dan elektrolit b/d ketidakmampuan ginjal mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit


Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak adekuatnya persediaan zat besi, kalsium, metabolisme yang tinggi dan intake yang kurang adekuat


Resiko tinggi hipotermi atau hipertermi b/d imaturitas fungsi termoregulasi atau perubahan suhu lingkungan


Hidrasi baik

Kriteria:
 Turgor kulit elastik
 Tidak ada edema
 Produksi urin 1-2 cc/kgbb/jam
 Elektrolit darah dalam batas normal



Nutrisi adekuat

Kriteria :
 Berat badan naik 10-30 gram / hari
 Tidak ada edema
 Protein dan albumin darah dalam batas normal




Suhu bayi stabil
 Suhu 36,5 0C -37,2 0C
 Akral hangat










 Observasi turgor kulit.
 Catat intake dan output
 Kolaborasi dalam pemberian cairan intra vena dan elektrolit
 Kolaborasi dalam pemeriksaan elektrolit darah








 Berikan ASI/PASI dengan metode yang tepat
 Observasi dan catat toleransi minum
 Timbang berat badan setiap hari
 Catat intake dan output
 Kolaborasi dalam pemberian total parenteral nutrition kalau perlu





 Rawat bayi dengan suhu lingkungan sesuai
 Hindarkan bayi kontak langsung dengan benda sebagai sumber dingin/panas
 Ukur suhu bayi setiap 3 jam atau kalau perlu
 Ganti popok bila basah





No Diagnosa Keperawatan Tujuan/Kriteria Rencana Tindakan

6.














7.

















8.
Resiko tinggi terjadi gangguan perfusi jaringan b/d imaturitas fungsi kardiovaskuler









Resiko tinggi injuri susunan saraf pusat b/d hipoksia














Resiko tinggi infeksi b/d imaturitas fungsi imunologik





Perfusi jaringan baik
 Tekanan darah normal
 Pengisian kembali kapiler <2 detik
 Akral hangat dan tidak sianosis
 Produksi urin 1-2 cc/kgbb/jam
 Kesadaran composmentis


Tidak ada injuri

Kriteria :
 Kesadaran composmentis
 Gerakan aktif dan terkoordinasi
 Tidak ada kejang ataupun twitching
 Tidak ada tangisan melengking
 Hasil USG kepala dalam batas normal


Bayi tidak terinfeksi

Kriteria :
 Suhu 36,5 0C -37,2 0C
 Darah rutin normal

 Ukur tekanan darah kalau perlu
 Observasi warna dan suhu kulit
 Observasi pengisian kembali kapiler
 Observasi adanya edema perifer
 Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium
 Kolaborasi dalam pemberian obat-obatan






 Cegah terjadinya hipoksia
 Ukur saturasi oksigen
 Observasi kesadaran dan aktifitas bayi
 Observasi tangisan bayi
 Observasi adanya kejang
 Lapor dokter apabila ditemukan kelainan pada saat observasi
 Ukur lingkar kepala kalau perlu
 Kolaborasi dalam pemeriksaan USG kepala







 Hindari bayi dari orang-orang yang terinfeksi kalau perlu rawat dalam inkubator
 Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan bayi
 Lakukan tehnik aseptik dan antiseptik bila melakukan prosedur invasif

No Diagnosa Keperawatan Tujuan/Kriteria Rencana Tindakan








9.








10.













11.







Resiko tinggi gangguan integritas kulit b/d imaturitas struktur kulit




Gangguan persepsi-sensori : penglihatan, pendengaran, penciuman, taktil b/d stimulus yang kurang atau berlebihan dari lingkungan perawatan intensif




Koping keluarga tidak efektif b/d kondisi kritis pada bayinya, perawatan yang lama dan takut untuk merawat bayinya setelah pulang dari RS










Integritas kulit baik

Kriteria :
 Tidak ada rash
 Tidak ada iritasi
 Tidak plebitis



Persepsi dan sensori baik

Kriteria :
 Bayi berespon terhadap stimulus







Koping keluarga efektif
Kriteria :
 Ortu kooperatif dg perawatan bayinya.
 Pengetahuan ortu bertambah
 Orang tua dapat merawat bayi di rumah

 Lakukan perawatan tali pusat
 Observasi tanda-tanda vital
 Kolaborasi pemeriksaan darah rutin
 Kolaborasi pemberian antibiotika


 Kaji kulit bayi dari tanda-tanda kemerahan, iritasi, rash, lesi dan lecet pada daerah yang tertekan
 Gunakan plester non alergi dan seminimal mungkin
 Ubah posisi bayi dan pemasangan elektrode atau sensor

 Membelai bayi sebelum malakukan tindakan
 Mengajak bayi berbicara atau merangsang pendengaran bayi dengan memutarkan lagu-lagu yang lembut
 Memberikan rangsang cahaya pada mata
 Kurangi suara monitor jika memungkinkan
 Lakukan stimulas untuk refleks menghisap dan menelan dengan memasang dot

 Memberikan kesempatan pada ortu berkonsultasi dengan dokter
 Rujuk ke ahli psikologi jika perlu
 Berikan penkes cara perawatan bayi BBLR di rumah termasuk pijat bayi, metode kanguru, cara memandikan
 Lakukan home visit jika bayi pulang dari RS untuk menilai kemampuan orang tua merawat bayinya

SUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI BARU LAHIR

ASUHAN KEPERAWATAN
PADA BAYI BARU LAHIR YANG SAKIT


PENDAHULUAN

Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0 – 28 hari. Kehidupan pada masa neonatus ini sangat rawan oleh karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kesakitan dan angka kematian neonatus. Diperkirakan 2/3 kematian bayi di bawah umur satu tahun terjadi pada masa neonatus. Peralihan dari kehidupan intrauterin ke ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan biokimia dan faali. Dengan terpisahnya bayi dari ibu, maka terjadilah awal proses fisiologik sebagai berikut :
1. Peredaran darah melalui plasenta digantikan oleh aktifnya fungsi paru untuk bernafas (pertukaran oksigen dengan karbondioksida)
2. Saluran cerna berfungsi untuk menyerap makanan
3. Ginjal berfungsi untuk mengeluarkan bahan yang tidak terpakai lagi oleh tubuh untuk mempertahankan homeostasis kimia darah
4. Hati berfungsi untuk menetralisasi dan mengekresi bahan racun yang tidak diperlukan badan
5. Sistem imunologik berfungsi untuk mencegah infeksi
6. Sistem kardiovaskular serta endokrin bayi menyesuaikan diri dengan perubahan fungsi organ tersebut diatas

Banyak masalah pada bayi baru lahir yang berhubungan dengan gangguan atau kegagalan penyesuaian biokimia dan faali yang disebabkan oleh prematuritas, kelainan anatomik, dan lingkungan yang kurang baik dalam kandungan, pada persalinan maupun sesudah lahir.

Masalah pada neonatus biasanya timbul sebagai akibat yang spesifik terjadi pada masa perinatal. Tidak hanya merupakan penyebab kematian tetapi juga kecacatan. Masalah ini timbul sebagai akibat buruknya kesehatan ibu, perawatan kehamilan yang kurang memadai, manajemen persalinan yang tidak tepat dan tidak bersih, kurangnya perawatan bayi baru lahir. Kalau ibu meninggal pada waktu melahirkan, si bayi akan mempunyai kesempatan hidup yang kecil.

Untuk mampu mewujudkan koordinasi dan standar pelayanan yang berkualitas maka petugas kesehatan dibekali pengetahuan dan keterampilan untuk dapat melaksanakan pelayanan essensial neonatal yang dikategorikan dalam dua kelompok yaitu :
A. Pelayanan Dasar
1. Persalinan aman dan bersih
2. Mempertahankan suhu tubuh dan mencegah hiportermia
3. Mempertahankan pernafasan spontan
4. ASI Ekslusif
5. Perawatan mata
B. Pelayanan Khusus
1. Tatalaksana Bayi Neonatus sakit
2. Perawatan bayi kurang bulan dan BBLR
3. Imunisasi

Makalah ini akan membahas asuhan keperawatan bayi baru lahir yang sakit. Mengingat luasnya bahasan maka pembahasan akan difokuskan kepada masalah ikterus & hiperbilirubinemia, neonatus dengan ibu DM, neonatus prematur, hipertermia dan hipotermia. Selain itu juga dikaji respon keluarga terhadap neonatus yang sakit serta hubungan tumbuh kembang neonatus terhadap penyakit secara umum.


EFEK SAKIT PADA NEONATUS

Fase neonatus adalah fase yang sangat rawan akan hubungan ibu dan bayi. Karena kegagalan relasi pada masa ini akan memberi dampak pada tahap berikutnya. Kebutuhan psikologi fase ini melipurti tiga hal penting yaitu seeing (memandang), touching (sentuhan), dan caretaking (merawat dengan perhatian seluruh emosinya). Dengan demikian kesempatan ibu kontak mata dan menyentuh serta melakukan sendiri dalam mengganti popok adalah menjadi prioritas dalam intervensi perawat.

Penyakit atau kecacatan pada anak mempengaruhi terbinanya hubungan saling percaya antara anak dengan orangtua. Penyakit pada anak dapat membuat harapan orangtua menurun, penyakit sering mengakibatkan gangguan dalam kemampuan motorik anak, keterbatasan gerak di tempat tidur dan berkurangnya kontak bayi dengan lingkungan. Intervensi keperawatan sangat penting untuk membantu keluarga dalam menghadapi bayi yang sakit. Keberadaan perawat yang selalu siap membantu sangat penting untuk menenangkan orangtua terhadap rasa ketidak berdayaannya.


REAKSI EMOSIONAL PENERIMAAN KELUARGA

Pada neonatus yang menderita sakit, maka keluarga akan merasa cemas, tidak berdaya, dan lain sebagainya yang merupakan reaksi keluarga terhadap kenyataan bahwa bayinya menderita suatu penyakit. Berikut adalah reaksi emosional penerimaan keluarga terhadap neonatus sakit dan bagaimana perawat mengatasi hal tersebut :

1. Denial
Respon perawat terhadap penolakan adalah komponen untuk kebutuhan individu yang kontinyu sebagai mekanisme pertahanan. Dukungan metode efektif adalah mendengarkan secara aktif. Diam atau tidak ada reinforcement bukanlah suatu penolakan. Diam dapat diinterpretasikan salah, keefektifan diam dan mendengar haruslah sejalan dengan konsentrasi fisik dan mental. Penggunaan bahasa tubuh dalam berkomunikasi harus concern. Kontak mata, sentuhan, postur tubuh, cara duduk dapat digunakan saat diam sehingga komunikasi berjalan efektif.

2. Rasa bersalah
Perasaan bersalah adalah respon biasa dan dapat menyebabkan kecemasan keluarga. Mereka sering mengatakan bahwa merekalah yang menjadi penyebab bayinya mengalami kondisi sakit. Amati ekspresi bersalah, dimana ekspresi tersebut akan membuat mereka lebih terbuka untuk menyatakan perasaannya.



3. Marah
Marah adalah suatu reaksi yang sulit diterima dan sulit ditangani secara therapeutik. Aturan dasar untuk menolak marah seseorang adalah hindari gagalnya kemarahan dan dorong untuk marah secara assertif.


HIPERBILIRUBINEMIA

Definisi :
Hiperbilirubinemia adalah berlebihnya akumulasi bilirubin dalam darah (level normal 5 mg/dl pada bayi normal) yang mengakibatkan jaundice, warna kuning yang terlihat jelas pada kulit, mukosa, sklera dan urine.

Etiologi:
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan. Penyebab yang tersering ditemukan disini adalah hemolisis yang timbul akibat inkompatibilitas golongan darah ABO atau defisiensi enzim G6PD. Hemolisis ini dapat pula timbul karena adanya perdarahan tertutup (sefal hematoma, perdarahan subaponeoratik) atau inkompatabilitas golongan darah Rh. Infeksi juga memegang peranan penting dalam terjadinya hiperbilirubinemia : keadaan ini terutama terjadi pada penderita sepsis dan gastroenteritis. Beberapa faktor lain yang juga merupakan penyebab hiperbilirubinemia adalah hipoksia/anoksia, dehidrasi dan acidosis, hipoglikemia dan polisitemia.

Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.

Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal dapat terjadi apabila kadar protein-Y berkurang atau pada keadaan protein-Y dan protein-Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan acidosis atau dengan hipoksia/anoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gagguan konjugasi hepar (defisiensi enszim glukoronil transferase) atau bayi yang menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatik.

Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kern ikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada sususnan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas, berat badan lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi.
Tabel.1 Perbandingan Tipe Unconjungatif Hyperbilirubinemia

Fisiologis jaundice Jaundice yang berhubungan dengan Breast feeding Jaundice Breast milk Hemolitik desease
Penyebab Fungsi hepatik immatur ditambah peningkatan bilirubin dari hemolisis RBC Intake susu yang jelek berhubungan dengan konsumsi kalori yang sedikit pada bayi sebelum susu ibu keluar Faktor-faktor pada susu ibu yang berubah, bilirubin menjadi bentuk lemak yang mana direabsorbsi usus Incompatibilitas antigen yang menyebabkan hemolisis sebagian dari RBC.
Hati tidak mampu untuk mengkonjugasikan dan mengeksresikan kelebihan bilirubin dari hemolisis
Onset Setelah 24 jam pertama (bayi prematur, bayi lahir lama) 2 - 3 hari 4 - 5 hari Selama 24 jam pertama
Puncak 72 jam 2 - 3 hari 10 - 15 hari Bervariasi
Durasi Berkurang setelah 5-7 hari Sampai seminggu
Terapi Fototherapi jika bilirubin meningkat dengan cepat Berikan ASI sesering mungkin, berikan suplemen kalori, fototherapi untuk kadar bilirubin 18 - 20 mg/dl Hentikan ASI selama 24 jam untuk mendeterminasi sebab, jika kadar bilirubin menurun pemberian ASI dapat diulangi.
Dapat dilakukan fototherapi tanpa menghentikan pemberian ASI Posnatal: fototherapi, bila perlu transfusi tukar
Prenatal:
Transfusi (fetus)
Mencegah sensitisasi dari RH negatif ibu dengan RhoGAM


Pengkajian

1. Riwayat keluarga dan kehamilan:
- Orang tua atau saudara dengan neonatal jaundice atau penyakit lever
- Prenatal care
- DM pada ibu
- Infeksi seperti toxoplasmosis, spilis, hepatitis, rubela, sitomegalovirus dan herves yang mana ditransmisikan secara silang keplasenta selama kehamilan
- Penyalahgunaan obat pada orang tua
- Ibu dengan Rh negatif sedangkan ayah dengan Rh positif
- Riwayat transfusi Rh positif pada ibu Rh negatif
- Riwayat abortus dengan bayi Rh positif
- Obat-obatan selama kehamilan seperti sulfonamid, nitrofurantoin dan anti malaria
- Induksi oksitosin pada saat persalinan
- Penggunaan vakum ekstraksi
- Penggunaan phenobarbital pada ibu 1-2 bulan sebelum persalinan

2. Status bayi saat kelahiran:
- Prematuritas atau kecil masa kehamilan
- APGAR score yang mengindikasikan asfiksia
- Trauma dengan hematoma atau injuri
- Sepsis neonatus, adanya cairan yang berbau tidak sedap
- Hepatosplenomegali

3. Kardiovaskuler
- Edema general atau penurunan volume darah, mengakibatkan gagal jantung pada hidro fetalis

4. Gastrointestinal
- Oral feeding yang buruk
- Kehilangan berat badan sampai 5 % selama 24 jam yang disebabkan oleh rendahnya intake kalori
- Hepatosplenomegali

5. Integumen
- Jaundice selama 24 jam pertama (tipe patologis), setelah 24 jam pertama (Fisiologik tipe) atau setelah 1 bulan dengan diberikan ASI
- Kalor yang disebabkan oleh anemia yang terjadi karena hemolisis RBC

6. Neurologik
- Hipotoni
- Tremor, tidak adanya reflek moro dan reflek menghisap, reflek tendon yang minimal
- Iritabilitas, fleksi siku, kelemahan otot, opistotonis
- Kejang

7. Pulmonari
- Apnu, sianosis, dyspnea setelah kejadian kern ikterus
- Aspiksia, efusi pulmonal

8. Data Penunjang
- Golongan darah dan faktor Rh pada ibu dan bayi untuk menentukan resiko incompatibilitas, Rh ayah juga diperiksa jika Rh ibu negatif (test dilakukan saat prenatal)
- Amniosintesis dengan analisa cairan amnion, Coombs test dengan hasil negatif mengindikasikan peningkatan titer antibodi Anti D, bilirubin level pada cairan amnion meningkat sampai lebih dari 0,28 mg/dl sudah merupakan nilai abnormal (mengindikasikan kebutuhan transfusi pada janin).
- Coombs test (direct) pada darah tali pusat setelah persalinan, positif bila antibodi terbentuk pada bayi.
- Coombs test (indirect) pada darah tali pusat, positif bila antibodi terdapat pada darah ibu.
- Serial level bilirubin total, lebih atau sama dengan 0,5 mg/jam samapi 20 mg/dl mengindikasikan resiko kernikterus dan kebutuhan transfusi tukar tergantung dari berat badan bayi dan umur kehamilan.
- Direct bilirubin level, meningkat jika terjadi infeksi atau gangguan hemolisis Rh
- Hitung retikulosit, meningkat pada hemolisis
- Hb dan HCT
- Total protein, menentukan penurunan binding site
- Hitung leukosit, menurun sampai dibawah 5000/mm3, mengindikasikan terjadinya infeksi
- Urinalsis, untuk mendeteksi glukosa dan aseton, PH dan urobilinogen, kreatinin level

Diagnosa Keperawatan
Dx. 1. Resiko tinggi injuri berhubungan dengan produk sisa sel darah merah yang berlebihan dan imaturitas hati

Tujuan 1: Pasien mendapatkan terapi untuk menyeimbangkan eksresi bilirubin

Tindakan:
1. Kaji adanya jaundice pada kulit, yang mana mengindikasikan peningkatan kadar bilirubin
2. Cek kadar bilirubin dengan bilirobinometer transkutan untuk mengetahui peningkatan atau penurunan kadar bilirubin
3. Catat waktu terjadinya jaundice untuk membedakan fisiologik jaundice (terjadi setelah 24 jam) dengan patologik jaundice (terjadi sebelum 24 jam)
4. Kaji status bayi khususnya faktor yang dapat meningkatkan resiko kerusakan otak akibat hiperbilirubinemia (seperti hipoksia, hipotermia, hipoglikemia dan metabolik asidosis)
5. Memulai feeding lebih cepat utuk mengeksresikan bilirubin pada feces

Hasil yang diharapkan:
1. Bayi baru lahir memulai feeding segera setelah lahir
2. Bayi baru lahir mendapatkan paparan dari sumber cahaya

Tujuan 2: tidak terjadi komplikasi dari fototherapi

Tindakan:
1. Tutupi mata bayi baru lahir untuk menghindari iritasi kornea
2. Tempatkan bayi secara telanjang dibawah cahaya untuk memaksimalkan paparan cahaya pada kulit
3. Ubah posisi secara teratur utnuk meningkatkan paparan pada permukaan tubuh
4. Monitor suhu tubuh untuk mendeteksi hipotermia atau hipertermia
5. Pada peningkatan BAB, bersihkan daerah perienal untuk menghindari iritasi
6. Hindarkan penggunaan minyak pada kulit untuk mencegah rasa pedih dan terbakar
7. Berikan intake fluid secara adekuat untuk menghindari rehidrasi
Hasil yang diharapkan : tidak terjadi iritasi mata, dehidrasi, instabilitas suhu dan kerusakan kulit

Tujuan 3: Tidak adanya komplikasi dari transfusi tukar (jika terapi ini diberikan)

Tindakan:
1. Jangan berikan asupan oral sebelum prosedur (2-4 jam) untuk mencegah aspirasi
2. Cek donor darah dan tipe Rh untuk mencegah reaksi transfusi
3. Bantu dokter selama prosedur untuk mencegah infeksi
4. Catat secara akurat jumlah darah yang masuk dan keluar untuk mempertahankan volume darah
5. Pertahankan suhu tubuh yang optimal selama prosedur untuk mencegah hipotermia dan stress karena dingin atau hipotermia
6. Observasi tanda perubahan reaksi transfusi (Tacykardia, bradikardia, distress nafas, perubahan tekanan darah secara dramatis, ketidakstabilan temperatur, dan rash)
7. Siapkan alat resusitasi untuk mengatasi keadaan emergensi
8. Cek umbilikal site terhadap terjadinya perdarahan atau infeksi
9. Monitor vital sign selama dan stelah transfusi untuk mendeteksi komplikasi seperti disritmia jantung.

Hasil yang diharapkan :
1. Bayi menunjukkan tidak adanya tanda-tanda reaksi transfusi
2. Vital sign berada pada batas normal
3. Tidak terjadi infeksi atau perdarahan pada daerah terpasangnya infus

Dx.2. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan bayi dengan potensial respon fisiologis yang merugikan

Tujuan 1: Keluarga dapat memberikan suport emosional

Tindakan:
1. Hentikan fototherapi selama kujungan keluarga, lepaskan tutup mata bayi untuk membantu interaksi keluarga
2. Jelaskan proses fisiologis jaundice untuk mencegah kekhawatiran keluarga dan potensial over proteksi pada bayi
3. Yakinkan keluarga bahwa kulit akan kembali normal
4. Anjurkan ibu untuk menyusui bayinya untuk memperpendek periode jaundice
5. Jelaskan kegunaan ASI untuk mengatasi jaundice dan penyakit lainnya

Hasil yang diharapkan :
Keluarga menunjukkan pengertian terhadap terapi dan prognosa

Tujuan 2: Keluarga dapat melaksanakan fototherapi dirumah

Tindakan:
1. Kaji pengertian keluarga terhadap jaundice dan terapi yang diberikan
2. Instruksikan keluarga untuk:
- Melindungi mata
- Merubah posisi
- Memberikan asupan cairan yang adekuat
- Menghindari penggunaan minyak pada kulit
- Mengukur suhu aksila
- Mengobservasi bayi: warna, bentuk makanan, jumlah makanan
- Mengobservasi bayi terhadap tanda letargi, perubahan pola tidur, perubahan pola eliminasi
3. Menjelaskan perlunya test bilirubin bila diperlukan

Hasil yang diharapkan:
Keluarga dapat menunjukkan kemampuan untuk melaksanakan fototherapi di rumah (khususnya metode dan rasional)


HIPOTERMIA & HIPERTERMIA

HIPOTERMIA
Suhu normal pada neonatus berkisar antara 360C - 37,50C pada suhu ketiak. Gejala awal hipotermia apabila suhu < 360C atau kedua kaki dan tangan teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi teraba dingin, maka bayi sudah mengalami hipotermia sedang (suhu 320C - <360C). Disebut hipotermia berat bila suhu tubuh < 320C. Untuk mengukur suhu tubuh pada hipotermia diperlukan termometer ukuran rendah (low reading termometer) sampai 250C. Disamping sebagai suatu gejala, hipotermia dapat merupakan awal penyakit yang berakhir dengan kematian.

Yang menjadi prinsip kesulitan sebagai akibat hipotermia adalah meningkatnya konsumsi oksigen (terjadi hipoksia), terjadinya metabolik asidosis sebagai konsekuensi glikolisis anaerobik, dan menurunnya simpanan glikogen dengan akibat hipoglikemia. Hilangnya kalori tampak dengan turunnya berat badan yang dapat ditanggulangi dengan meningkatkan intake kalori.

Etiologi dan faktor presipitasi
- Prematuritas
- Asfiksia
- Sepsis
- Kondisi neurologik seperti meningitis dan perdarahan cerebral
- Pengeringan yang tidak adekuat setelah kelahiran
- Eksposure suhu lingkungan yang dingin

Penanganan hipotermia ditujukan pada: 1) Mencegah hipotermia, 2) Mengenal bayi dengan hipotermia, 3) Mengenal resiko hipotermia, 4) Tindakan pada hipotermia.

Tanda-tanda klinis hipotermia:
a. Hipotermia sedang:
- Kaki teraba dingin
- Kemampuan menghisap lemah
- Tangisan lemah
- Kulit berwarna tidak rata atau disebut kutis marmorata
b. Hipotermia berat
- Sama dengan hipotermia sedang
- Pernafasan lambat tidak teratur
- Bunyi jantung lambat
- Mungkin timbul hipoglikemi dan asidosisi metabolik
c. Stadium lanjut hipotermia
- Muka, ujung kaki dan tangan berwarna merah terang
- Bagian tubuh lainnya pucat
- Kulit mengeras, merah dan timbul edema terutama pada punggung, kaki dan tangan (sklerema)


HIPERTERMIA
Lingkungan yang terlalu panas juga berbahaya bagi bayi. Keadaan ini terjadi bila bayi diletakkan dekat dengan sumber panas, dalam ruangan yang udaranya panas, terlalu banyak pakaian dan selimut.

Gejala hipertermia pada bayi baru lahir :
- Suhu tubuh bayi > 37,5 C
- Frekuensi nafas bayi > 60 x / menit
- Tanda-tanda dehidrasi yaitu berat badan menurun, turgor kulit kurang, jumlah urine berkurang

Pengkajian hipotermia & hipertermia
1. Riwayat kehamilan
- Kesulitan persalinan dengan trauma infant
- Penyalahgunaan obat-obatan
- Penggunaan anestesia atau analgesia pada ibu

2. Status bayi saat lahir
- Prematuritas
- APGAR score yang rendah
- Asfiksia dengan rescucitasi
- Kelainan CNS atau kerusakan
- Suhu tubuh dibawah 36,5 C atau diatas 37,5 C
- Demam pada ibu yang mempresipitasi sepsis neonatal

3. Kardiovaskular
- Bradikardi
- Takikardi pada hipertermia

4. Gastrointestinal
- Asupan makanan yang buruk
- Vomiting atau distensi abdomen
- Kehilangan berat badan yang berarti

5. Integumen
- Cyanosis central atau pallor (hipotermia)
- Kulit kemerahan (hipertermia)
- Edema pada muka, bahu dan lengan
- Dingin pada dada dan ekstremitas(hipotermia)
- Perspiration (hipertermia)

6. Neorologic
- Tangisan yang lemah
- Penurunan reflek dan aktivitas
- Fluktuasi suhu diatas atau dibawah batas normal sesuai umur dan berat badan

7. Pulmonary
- Nasal flaring atau penurunan nafas, iregguler
- Retraksi dada
- Ekspirasi grunting
- Episode apnea atau takipnea (hipertermia)

8. Renal
- Oliguria

9. Study diagnostik
- Kadar glukosa serum, untuk mengidentifikasi penurunan yang disebabkan energi yang digunakan untuk respon terhadap dingin atau panas
- Analisa gas darah, untuk menentukan peningkatan karbondoksida dan penurunan kadar oksigen, mengindikasikan resiko acidosis
- Kadar Blood Urea Nitrogen, peningkatan mengindikasikan kerusakan fungsi ginjal dan potensila oliguri
- Study elektrolit, untuk mengidentifikasi peningkatan potasium yang berhubungan dengan kerusakan fungsi ginjal
- Kultur cairan tubuh, untuk mengidentifikasi adanya infeksi


Diagnosa keperawatan
Dx.1. Suhu tubuh abnormal berhubungan dengan kelahiran abnormal, paparan suhu lingkungan yang dingin atau panas.

Tujuan 1 : Mengidentifikasi bayi dengan resiko atau aktual ketidakstabilan suhu tubuh

Tindakan :
1. Kaji faktor yang berhubungan dengan resiko fluktuasi suhu tubuh pada bayi seperti prematuritas, sepsis dan infeksi, aspiksia atau hipoksia, trauma CNS, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, suhu lingkungan yang terlalu panas atau dingin, trauma lahir dan riwayat penyalahgunaan obat pada ibu
2. Kaji potensial dan aktual hipotermia atau hipertermia :
- Monitor suhu tubuh, lakukan pengukuran secara teratur
- Monitor suhu lingkungan
- Cegah kondisi yang menyebabkan kehilangan panas pada bayi seperti baju basah atau bayi tidak kering, paparan uadara luar atau pendingin ruangan
- Cek respiratory rate (takipnea), kedalaman dan polanya
- Observasi warna kulit
- Monitor adanya iritabilitas, tremor dan aktivitas seizure
- Monitor adanya flushing, distress pernafasan, episode apnea, kelembaban kulit, dan kehilangan cairan.

Tujuan 2. Mencegah kondisi yang dapat mencetuskan fluktuasi suhu tubuh

Tindakan :
1. Lindungi dinding inkubator dengan
- Meletakkan inkubator ditempat yang tepat
- Suhu kamar perawatan/kamar operasi dipertahankan + 24 C
- Gunakan alas atau pelindung panas dalam inkubator
2. Keringkan bayi baru lahir segera dibawah pemanas
3. Air mandi diatas 37 C dan memandikannnya sesudah bayi stabil dan 6 – 12 jam postnatal, keringkan segera
4. Pergunakan alas pada meja resusitasi atau pemanas
5. Tutup permukaan meja resusitasi dengan selimut hangat, inkubator dihangatkan dulu
6. Pertahankan suhu kulit 36 – 36,5 C
7. Sesedikit mungkin membuka inkubator
8. Hangatkan selalu inkubator sebelum dipakai
9. Gendong bayi dengan kulit menempel ke kulit ibu (metode kangguru)
10. Beri topi dan bungkus dengan selimut

Tujuan 3: Mencegah komplikasi dingin

Tindakan :
1. Kaji tanda stress dingin pada bayi :
- Penurunan suhu tubuh sampai < 32,2 C
- Kelemahan dan iritabilitas
- Feeding yang buruk dan lethargy
- Pallor, cyanosis central atau mottling
- Kulit teraba dingin
- Warna kemerahan pada kulit
- Bradikardia
- Pernafasan lambat, ireguler disertai grunting
- Penurunan aktivitas dan reflek
- Distesi abdomen dan vomiting

2. Berikan treatment pada aktual atau resiko injury karena dingin sebagai berikut :
- Berikan therapy panas secara perlahan dan catat suhu tubuh setiap 15 menit
- Pertimbangkan pemberian plasma protein (Plasmanate) setelah 30 menit
- Berikan oksigen yang telah diatur kelembabannya
- Monitor serum glukosa
- Berikan sodium bikarbonat untuk acidosis metabolik
- Untuk menggantikan asupan makanan dan cairan, berikan dekstrose 10% sampai temeperatur naik diatas 35 C

Dx.2. Deficit pengetahuan (orangtua) berhubungan dengan kondisi bayi baru lahir dan cara mempertahankan suhu tubuh bayi.

Tujuan : Memberikan informasi yang cukup kepada orangtua tentang kondisi bayi dan perawatan yang diberikan untuk mempertahankan suhu tubuh bayi

Tindakan :
1. Beri informasi pada orangtua tentang :
- Penyebab fluktuasi suhu tubuh
- Kondisi bayi
- Treatment untuk menstabilkan suhu tubuh
- Perlunya membungkus/menyelimuti bayi saat menggendong dan bepergian
2. Ajari orangtua cara mengukur suhu tubuh aksila pada bayi dan minta mereka untuk mendemontrasikannya
3. Informasikan kepada orangtua tentang perawatan saat bayi di inkubator
4. Anjurkan pasien bertanya, mengklarifikasi yang belum jelas dan menunjukkan prilaku seperti diajarkan


BAYI PREMATUR

Definisi :
Bayi baru lahir dengan umur kehamilan 37 minggu atau kurang saat kelahiran disebut dengan bayi prematur. Walaupun kecil, bayi prematur ukurannya sesuai dengan masa kehamilan tetapi perkembangan intrauterin yang belum sempurna dapat menimbulkan komplikasi pada saat post natal. Bayi baru lahir yang mempunyai berat 2500 gram atau kurang dengan umur kehamilan lebih dari 37 minggu disebut dengan kecil masa kehamilan, ini berbeda dengan prematur, walaupun 75% dari neonatus yang mempunyai berat dibawah 2500 gram lahir prematur.

Problem klinis terjadi lebih sering pada bayi prematur dibandingkan dengan pada bayi lahir normal. Prematuritas menimbulkan imaturitas perkembangan dan fungsi sistem, membatasi kemampuan bayi untuk melakukan koping terhadap masalah penyakit.

Masalah yang umum terjadi diantaranya respiratory disstres syndrom (RDS), enterocolitis nekrotik, hiperbilirubinemia, hypoglikemia, thermoregulation, patetnt duktus arteriosus (PDA), edema paru, perdarahan intraventrikular. Stressor tambahan lain pada infant dan orangtua meliputi hospitalisasi untuk penyakit pada bayi. Respon orangtua dan mekanisme koping mereka dapat menimbulkan gangguan pada hubungan antar mereka. Diperlukan perencanaan dan tindakan yang adekuat untuk permasalahn tersebut.

Bayi prematur dapat bertahan hidup tergantung pada berat badannya, umur kehamilan, dan penyakit atau abnormalitas. Prematur menyumbangkan 75% - 80% angka kesakitan dan kematian neonatus.

Etiologi dan faktor presipitasi:
Permasalahan pada ibu saat kehamilan :
- Penyakit/kelainan seperti hipertensi, toxemia, placenta previa, abruptio placenta, incompetence cervical, janin kembar, malnutrisi dan diabetes mellitus.
- Tingkat sosial ekonomi yang rendah dan prenatal care yang tidak adekuat
- Persalinan sebelum waktunya atau induced aborsi
- Penyalahgunaan konsumsi pada ibu seperti obat-obatan terlarang, alkohol, merokok dan caffeine

Pengkajian
1. Riwayat kehamilan
- Umur ibu dibawah 16 tahun dengan latar belakang pendidikan rendah
- Kehamilan kembar
- Status sosial ekonomi, prenatal care tidak adekuat, nutrisi buruk
- Kemungkinan penyakit genetik
- Riwayat melahirkan prematur
- Infeksi seperti TORCH, penyakit menular seksual dan lain sebagainya
- Kondisi seperti toksemia, prematur rupture membran, abruptio placenta dan prolaps umbilikus
- Penyalahgunaaan obat, merokok, konsumsi kafeine dan alkohol
- Golongan darah, faktor Rh, amniocentesis.

2. Status bayi baru lahir
- Umur kehamilan antara 24 – 37 minggu, berat badan lahir rendah atau besar masa kehamilan
- Berat badan dibawah 2500 gram
- Kurus, lemak subkutan minimal
- Adanya kelainan fisik yang terlihat
- APGAR skore 1 – 5 menit : 0 – 3 mengindikasikan distress berat, 4 – 6 menunjukkan disstres sedang dan 7 – 10 merupakan nilai normal.

3. Kardiovaskular
- Denyut jantung 120 – 160 x per menit pada sisi apikal dengan irama teratur
- Saat kelahiran, terdengar murmur

4. Gastrointestinal
- Protruding abdomen
- Keluaran mekonium setelah 12 jam
- Kelemahan menghisap dan penurunan refleks
- Pastikan anus tanpa/dengan abnormalitas kongenital

5. Integumen
- Cyanosis, jaundice, mottling, kemerahan, atau kulit berwarna kuning
- Verniks caseosa sedikit dengan rambut lanugo di seluruh tubuh
- Kurus
- Edema general atau lokal
- Kuku pendek
- Kadang-kadang terdapat petechie atau ekimosis


6. Muskuloskeletal
- Cartilago pada telinga belum sempurna
- Tengkorak lunak
- Keadaan rileks, inaktive atau lethargi

7. Neurologik
- Refleks dan pergerakan pada test neurologik tanpa resistansi
- Reflek menghisap, swalowing, gag reflek serta reflek batuk lemah atau tidak efektif
- Tidak ada atau minimalnya tanda neurologik
- Mata masih tertutup pada bayi dengan umur kehamilan 25 – 26 minggu
- Suhu tubuh yang tidak stabil : biasanya hipotermik

8. Pulmonary
- Respiratory rate antara 40 – 60 x/menit dengan periode apnea
- Respirasi irreguler dengan nasal flaring, grunting dan retraksi (interkostal, suprasternal, substrenal)
- Terdengar crakles pada auskultasi

9. Renal
- Berkemih terjadi 8 jam setelah lahir
- Kemungkinan ketidakmampuan mengekresikan sulution dalam urine

10. Reproduksi
- Perempuan : labia mayora belum menutupi klitoris sehingga tampak menonjol
- Laki-laki : testis belum turun secara sempurna ke kantong skrotum, mungkin terdapat inguinal hernia.

11. Data penunjang
- X-ray pada dada dan organ lain untuk menentukan adanya abnormalitas
- Ultrasonografi untuk mendeteksi kelainan organ
- Stick glukosa untuk menentukan penurunan kadar glukosa
- Kadar kalsium serum, penurunan kadar berarti terjadi hipokalsemia
- Kadar bilirubin untuk mengidentifikasi peningkatan (karena pada prematur lebih peka terhadap hiperbilirubinemia)
- Kadar elektrolit, analisa gas darah, golongan darah, kultur darah, urinalisis, analisis feses dan lain sebagainya.

Diagnosa keperawatan
Dx. 1. Resiko tinggi disstres pernafasan berhubungan dengan immaturitas paru dengan penurunan produksi surfactan yang menyebabkan hipoksemia dan acidosis

Tujuan : Mempertahankan dan memaksimalkan fungsi paru

Tindakan :
1. Kaji data fokus pada kemungkinan disstres pernafasan yaitu :
- Riwayat penyalahgunaan obat pada ibu atau kondisi abnormal selama kehamilan dan persalinan
- Kondisi bayi baru lahir : APGAR score, kebutuhan resusitasi
- Respiratory rate, kedalaman, takipnea
- Pernafasan grunting, nasal flaring, retraksi dengan penggunaan otot bantu pernafasan (intercostal, suprasternal, atau substernal)
- Cyanosis, penurunan suara nafas
2. Kaji episode apneu yang terjadi lebih dari 20 detik, kaji keadaan berikut :
- Bradykardi
- Lethargy, posisi dan aktivitas sebelum, selama dan setelah episode apnea (sebagai contoh saat tidur atau minum ASI)
- Distensi abdomen
- Suhu tubuh dan mottling
- Kebutuhan stimulasi
- Episode dan durasi apnea
- Penyebab apnea, seperti stress karena dingin, sepsis, kegagalan pernafasan.
3. Berikan dan monitor support respiratory sebagai berikut :
- Berikan oksigen sesuai indikasi
- Lakukan suction secara hati-hati dan tidak lebih dari 5 detik
- Pertahankan suhu lingkungan yang normal
4. Monitor hasil pemeriksaan analisa gas darah untuk mengetahui terjadinya acidosis metabolik
5. Berikan oabt-obat sesuai permintaan dokter seperti theophylin IV. Monitor kadar gula darah setiap 1 – 2 hari.

Dx. 2. Resiko hipotermia atau hipertermia berhubungan dengan prematuritas atau perubahan suhu lingkungan

Tujuan : Mempertahankan suhu lingkungan normal

Tindakan :
1. Pertahankan suhu ruang perawatan pada 25 C
2. Kaji suhu rectal bayi dan suhu aksila setiap 2 jam atau bila perlu
3. Tempatkan bayi di bawah pemanas atau inkubator sesuai indikasi
4. Hindarkan meletakkan bayi dekat dengan sumber panas atau dingin
5. Kaji status infant yang menunjukkan stress dingin

Dx. 3. Defiensi nutrisi berhubungan dengan tidak adekuatnya cadangan glikogen, zat besi, dan kalsium dan kehilangan cadangan glikogen karena metabolisme rate yang tinggi, tidak adekuatnya intake kalori, serta kehilangan kalori.

Tujuan : meningkatkan dan mempertahankan intake kalori yang adekuat pada bayi

Tindakan :
1. Kaji refleks hisap dan reflek gag pada bayi. Mulai oral feeding saat kondisi bayi stabil dan respirasi terkontrol
2. Kaji dan kalkulasikan kebutuhan kalori bayi
3. Mulai breast feeding atau bottle feeding 2 – 6 jam setelah lahir. Mulai dengan 3 – 5 ml setiap kali setiap 3 jam. Tingkatkan asupan bila memungkinkan.
4. Timbang berat badan bayi setiap hari, bandingkan berat badan dengan intake kalori untuk menentukan pemabatasan atau peningkatan intake
5. Berikan infus dextrose 10% jika bayi tidak mampu minum secara oral
6. Berikan TPN dan intralipid jika dibutuhkan
7. Monitor kadar gula darah

Dx. 4. Ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan imaturitas, radiasi lingkungan, efek fototherapy atau kehilangan melalui kulit atau paru.

Tujuan : Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit

Tindakan :
1. Kaji dan hitung kebutuhan cairan bayi
2. Berikan cairan 150 – 180 ml/kg berat badan dan 200 ml/kg berat badan jika dibutuhkan.
3. Timbang berat badan bayi setiap hari
4. Monitor dan catat intake dan output setiap hari, bandingkan jumlahnya untuk menentukan status ketidakseimbangan.
5. Test urine : spesifik gravity dan glikosuria
6. Pertahankan suhu lingkungan normal
7. Kaji tanda-tanda peningkatan kebutuhan cairan :
- Peningkatan suhu tubuh
- Hipovolemik shock dengan penurunan tejanan darah dan peningkatan denut jantung, melemahnya denyut nadi, tangan teraba dingin serta motling pada kulit.
- Sepsis
- Aspiksia dan hipoksia
8. Monitor potassium, sodium dan kadar chloride. Ganti cairan dan elektrolit dengan dextrose 10% bila perlu.

Dx. 5. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imaturitas imunologik bayi dan kemungkinan infeksi dari ibu atau tenaga medis/perawat

Tujuan : Infeksi dapat dicegah

Tindakan :
1. Kaji fluktuasi suhu tubuh, lethargy, apnea, iritabilitas dan jaundice
2. Review riwayat ibu, kondisi bayi saat lahir, dan epidemi infeksi di ruang perawatan
3. Amati sampel darah dan drainase
4. Lakukan pemeriksaan CBC dengan hitung leukosit, platelets, dan imunoglubolin
5. Berikan lingkungan yang melindungi bayi dari infekasi :
- Lakukan cuci tangan sebelum menyentuh bayi
- Ikuti protokol isolasi bayi
- Lakukan tehnik steril saat melakukan prosedur pada bayi


Dx. 6. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan rapuh dan imaturitas kulit

Tujuan : Mempertahankan integritas kulit

Tindakan :
1. Kaji kulit bayi terhadap kemerahan, iritasi, rashes, dan lesi serta keadaan pada area kulit yang tertekan.
2. Kaji tempat-tempat prosedur invasif pada bayi
3. Berikan perawatan kulit setiap hari. Lindungi kulit bayi dari kontak dengan agen pembersih atau plester.

Dx. 7. Gangguan sensori persepsi : visual, auditory, kinestehetik, gustatory, taktil dan olfaktory berhubungan dengan stimulasi yang kurang atau berlebihan pada lingkungan intensive care

Tujuan : Mempertahankan stimulasi sensori yang optimal tanpa berlebihan

Tindakan :
1. Kaji kemampuan bayi memberikan respon terhadap stimulus. Observasi :
- Deficit neurologik
- Kurangnya perhatian bayi terhadap stimulus
- Tidak ada respon terhadap suara, kontak mata atau tidak adanya refleks normal
- Efek obat terhadap perkembangan bayi
2. Berikan stimulasi visual :
- Arahkan cahaya lampu pada bayi
- Ayunkan benda didepan mata bayi
- Letakkan bayi pada posisi yang memungkinkan untuk kontak mata : tegakkan bayi
3. Berikan stimulasi auditory :
- Bicara pada bayi, lakukan dengan tekanan suara rendah dan jelas
- Panggil bayi dengan namanya, bicara pada bayi saat memberikan perawatan
- Bernyanyi, mainkan musik tape recorder atau hidupkan radio
- Hindari suara bising di sekitar bayi
4. Berikan stimulasi tactile :
- Peluk bayi dengan penuh kasih sayang
- Berikan kesempatan pada bayi untuk menghisap
- Sentuh bayi dengan benda lembut seperti saputangan atau kapas
- Berikan perubahan posisi secara teratur
5. Berikan stimulasi gustatory dengan mendekatkan hidung bayi ke payudara ibu atau ASI yang ditampung.
6. Berikan periode istirahat dan tidur yang cukup.

Dx. 8. Deficit pengetahuan (keluarga) tentang perawatan infant yang sakit di rumah

Tujuan :
1. Informasikan orangtua dan keluarga tentang :
- Proses penyakit
- Prosedur perawatan
- Tanda dan gejala problem respirasi
- Perawatan lanjutan dan therapy
2. Ajarkan orangtua dan keluarga tentang treatment pada anak :
- Therapy home oksigen
- Ventilasi mekanik
- Fisiotherapi dada
- Therapy obat
- Therapy cairan dan nutrisi
3. Berikan kesempatan pada keluarga mendemontrasikan perawatan pada bayinya
4. Anjurkan keluarga terlibat pada perawatan bayi
5. Ajarkan keluarga dan orangtua bagaimana menyeimbangkan istirahat dan tidur dan bagaimana menilai toleransi bayi terhadap aktivitas.


ASFIKSIA
Penilaian bayi pada kelahiran adalah untuk mengetahui derajat vitalitas fungsi tubuh. Derajat vitalitas adalah kemampuan sejumlah fungsi tubuh yang bersifat essensial dan kompleks untuk kelangsungan hidup bayi seperti pernafasan, denyut jantung, sirkulasi darah dan reflek-reflek primitif seperti menghisap dan mencari puting susu. Bila tidak ditangani secara tepat, cepat dan benar keadaan umum bayi akan menurun dengan cepat dan bahkan mungkin meninggal. Pada beberapa bayi mungkin dapat pulih kembali dengan spontan dalam 10 – 30 menit sesudah lahir namun bayi tetap mempunyai resiko tinggi untuk cacat.

Umumnya penilaian pada bayi baru lahir dipakai nilai APGAR (APGAR Score). Pertemuan SAREC di Swedia tahun 1985 menganjurkan penggunaan parameter penilaian bayi baru lahir dengan cara sederhana yang disebut nilai SIGTUNA (SIGTUNA Score) sesuai dengan nama tempat terjadinya konsensus. Penilaian cara ini terutama untuk tingkat pelayanan kesehatan dasar karena hanya menilai dua parameter yang essensial.

Tabel 2. Cara Menetapkan Nilai SIGTUNA
Yang Dinilai 2 1 0 Nilai
Pernafasan Teratur Megap-megap Tidak ada
Denyut jantung > 100/menit < 100/menit Tidak ada
Jumlah nilai = Nilai SIGTUNA

Derajat vitalitas bayi baru lahir menurut nilai SIGTUNA adalah : (a) tanpa asfiksia atau asfiksia ringan nilai = 4, (b) asfiksia sedang nilai 2 – 3, (c) asfiksia berat nilai 1, (d) bayi lahir mati / mati baru “fresh still birth” nilai 0.

Selama ini umumnya untuk menilai derajat vitalitas bayi baru lahir digunakan penilaian secara APGAR. Pelaksanaanya cukup kompleks karena pada saat bersamaan penolong persalinan harus menilai lima parameter yaitu denyut jantung, usaha nafas, tonus otot, gerakan dan warna kulit. dari hasil penelitian di AS nilai APGAR sangat bermanfaat untuk mengenal bayi resiko tinggi yang potensial untuk kematian dan kecacatan neurologis jangka panjang seperti cerebral palsy. Dari lima variabel nilai APGAR hanya pernafasan dan denyut jantung yang berkaitan erat dengan terjadinya hipoksia dan anoksia. Ketiga variabel lain lebih merupakan indikator maturitas tumbuh kembang bayi.

Penanganan asfiksia pada bayi baru lahir bertujuan untuk menjaga jalan nafas tetap bebas, merangsang pernafasan, menjaga curah jantung, mempertahankan suhu, dan memberikan obat penunjang resusitasi. Akibat yang mungkin muncul pada bayi asfiksia secara keseluruhan mengalami kematian 10 – 20 %, sedangkan 20 – 45 % dari yang hidup mengalami kelainan neurologi. Kira-kira 60 % nya dengan gejala sisa berat. Sisanya normal. Gejala sisa neurologik berupa cerebral palsy, mental retardasi, epilepsi, mikrocefalus, hidrocefalus dan lain-lain.

Diagnosa Keperawatan
Gangguan pertukaran gas

Data penunjang/Faktor kontribusi :
Oksigenasi yang adekuat dari bayi dipengaruhi banyak faktor seperti riwayat prenatal dan intrapartal, produksi mukus yang berlebihan, dan stress karena dingin. Riwayat prenatal dan intrapartal yang buruk dapat mengakibatkan fetal distress dan hipoksia saat masa adaptasi bayi. Pertukaran gas juga dapat terganggu oleh produksi mucus yang berlebihan dan bersihan jalan nafas yang tidak adekuat. Stress akibat dingin meningkatkan kebutuhan oksigen dan dapat mengakibatkan acidosis sebagai efek dari metabolisme anaerobik.

Tujuan :
Jalan nafas bebas dari sekret/mukus, pernafasan dan nadi dalam batas normal, cyanosis tidak terjadi, tidak ada tanda dari disstres pernafasan.

Intervensi :
• Amati komplikasi prenatal yang mempengaruhi status plasenta dan fetal (penyakit jantung atau ginjal, PIH atau Diabetes)
• Review status intrapartal termasuk denyut jantung, perubahan denyut jantung, variabilitas irama, level PH, warna dan jumlah cairan amnion.
• Catat waktu dan pengobatan yang diberikan kepada ibu seperti Magnesium sulfat atau Demerol
• Kaji respiratori rate
• Catat keadaan nasal faring, retraksi dada, respirasi grunting, rales atau ronchi
• Bersihkan jalan nafas; lakukan suction nasofaring jika dibutuhkan, monitor pulse apikal selama suction
• Letakkan bayi pada posisi trendelenburg pada sudut 10 derajat.
• Keringkan bayi dengan handuk yang lembut selimuti dan letakkan diantara lengan ibu atau hangatkan dengan unit pemanas
• Amati intensitas tangisan
• Catat pulse apikal
• Berikan sentuhan taktil dan stimulasi sensori
• Observasi warna kulit, lokasi sianosis, kaji tonus otot
Kolaborasi
• Berikan oksigen melalui masker, 4 - 7 lt/menit jika diindikasikan asfiksia
• Berikan obat-obatan seperti Narcan melalui IV
• Berikan terapi resusitasi

DAFTAR PUSTAKA

Markum, A.H., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 1991

Melson, Kathryn A & Marie S. Jaffe, Maternal Infant Health Care Planning, Second Edition, Springhouse Corporation, Springhouse Pennsylvania, 1994

Wong, Donna L., Wong & Whaley’s Clinical Manual of Pediatric Nursing, Fourth Edition, Mosby-Year Book Inc., St. Louis Missouri, 1990

Doenges, Marilyn E., Maternal/Newborn Care Plans : Guidelines for Client Care, F.A. Davis Company, Philadelphia, 1988